Minggu, 17 Mei 2009

Terus Terang




“Kamu kenapa toh, kok diesemes ‘nggak pernah balas, ditelepon ‘nggak diangkat?” tanya saya dengan nada biasa-biasa saja.

“Terserah kamu mau bilang apa. Kamu kan ‘nggak tahu kalau kemarin-kemarin aku sedang sibuk berat!” teriak seseorang di seberang telepon.

“Lho, memangnya aku ini dukun yang jago membaca pikiran orang, apa?”

Itu adalah penggalan percakapan saya dengan seseorang, sekitar sebulan yang lalu. Memang benar, waktu itu saya sedang dongkol berat. Hampir selama tiga minggu SMS saya tak pernah dibalasnya. Dan ketika saya telepon, ia diamkan saja. Padahal, saya hanya akan menanyakan sebuah janji yang pernah ia ucapkan sendiri. Bukan menagih, sebab sekalipun ia tak bisa memenuhi janjinya, saya juga tidak apa-apa.

Pada mulanya saya berpikiran bahwa barangkali dia sedang tak mau diganggu atau sedang sibuk. Tapi, menjelang minggu ke tiga SMS dan panggilan telepon saya tak diangkat, saya muntab. Saya bersumpah, saya akan terus menelepon sampai diangkat. Dan entah sampai panggilan ke berapa, panggilan saya akhirnya diangkat. Dan mengalirlah pembicaraan yang cuplikannya saya tuliskan di atas.

Saya pernah mengalami yang serupa. Suatu ketika, saya mampir di rumah salah seorang kawan. Begitu dipersilakan duduk, saya bertanya kepadanya, “Kamu ada acara? Dan apakah kedatangan saya mengganggu?” Ia menjawab, “Tidak.” Baiklah, saya tenang-tenang saja memulai obrolan dan meminta secangkir kopi.

Tetapi di seputar menit ke-30 saya berada di rumahnya, si kawan mulai kelihatan gelisah. Ia tampak tak tenang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dan guyonan-guyonan saya dengan seperlunya, tidak seperti biasanya, tampak betul ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Saya pun bertanya lagi apakah sebetulnya ia memiliki acara atau rencana lain, tidur misalnya. Ia menjawab lagi, “Tidak.” Saya tenang-tenang saja menyeruput kopi lalu menyambung obrolan. Namun ia masih juga tampak gelisah. Tak tahan, saya pun mendesaknya, sampai kemudian ia mengaku bahwa ia sebetulnya sedang ngantuk berat sebab semalaman lembur hingga belum tidur sama sekali. Saya tersenyum lalu berkata, “Oalah… ya sudah, saya pulang dulu. Kapan-kapan saya ke sini lagi.”

Kedua contoh tersebut adalah ketidaknyamanan yang pernah saya alami menyangkut absennya keterterusterangan. Padahal, saya pikir, semua akan baik-baik saja jika mereka berdua berterusterang. Dalam contoh pertama misalnya, jika seseorang tersebut berterusterang sejak awal bahwa ia sedang sibuk berat dengan pekerjaannya dan baru bersedia dihubungi di tahun 2014 misalnya, tentu saya akan maklum. Bahkan jika ia berkata, “Sumpah, saya dikutuk untuk sibuk sepanjang hidup saya, jadi percuma saja kau menghubungiku!” saya pun maklum-maklum saja. Atau dengan berterus terang seperti ini pun, “Sudahlah, kau bukan lagi bagian yang penting dalam hidupku. Hapus saja nomorku dan lupakan saja semuanya yang telah terjadi!” tentu dengan senang hati saya menuruti permintaannya, menghapus nomor teleponnya dari buku telepon HP saya dan berusaha melupakannya.

Pun begitu dengan contoh kedua, saya akan segera pamitan jika si kawan berterusterang sejak awal. Malah akan saya lengkapi dengan ucapan, “Selamat tidur! Dan semoga mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad!”

Yup, saya pikir hubungan antar manusia akan sama-sama enak jika saling berterusterang. Bahkan saya sempat membayangkan seorang pejabat mengadakan konferensi pers untuk berterusterang, “Saudara-saudaraku sekalian sebangsa dan setanah air, dengan konferensi pers ini saya berterusterang ingin menggunakan uang Anda untuk membeli sebiji mobil Jaguar. Bolehkah?” Saya bayangkan kita semua akan menimbang-nimbang, rela enggak ya, uang yang kita kumpulkan lewat pajak digunakan untuk membeli mobil Jaguar. Saya bayangkan juga produsen makanan berterusterang lewat iklan, “Terus terang, jika Anda mengonsumsi produk kami selama setahun, Anda akan mati mendadak di tahun ke tigapuluh kelak. Silakan, Anda boleh beli boleh tidak.” Wah-wah, barangkali dunia yang kita tinggali barangkali jadi lebih enak… Barangkali.

Bagi-bagi

Gratis. Siapa yang tak suka dengan apa-apa yang gratis. SMS gratis, tumpangan gratis, rokok gratis, dan tentu saja makanan gratis.

Sering saya (pun begitu dengan Anda, saya pikir) menghadiri sebuah acara di mana makanan tersedia gratis. Bisa pesta, syukuran, buka puasa bersama, atau sekadar makan bersama tanpa merujuk pada sebuah peringatan atau semacamnya. Dan dalam acara tersebut, makanan boleh diambil sendiri. Bukan dibagi rata, hingga tiap orang mendapat satu piring dan satu gelas misalnya.

Ya, sudah gratis, ambil sendiri pula. Masih ditambah lagi makanan yang disajikan bisa dibilang enak. Sate, sop buntut, tongseng, gecok, ayam bakar dan goreng, dendeng, dan lain sebagainya (pokoknya yang merupakan olahan dari hewan). Hmm…

Maka begitu acara makan dipersilakan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, segera saja meja saji dirubung orang. Siapa cepat dia dapat. Siapa gesit ia melejit. Makan menjadi semacam perlombaan. Piring dan sendok-garpu bertempur habis-habisan. Makanan disuapkan lalu dikunyah beberapa kali saja untuk kemudian cepat-cepat ditelan. Fungsi gigi sebagai pembantu lambung dikesampingkan. Yang penting, sesegera mungkin selesai untuk kemudian sesegera mungkin dimulai lagi. Piring pertama selesai, piring kedua dimulai. Piring kedua disudahi, piring ketiga diawali. Begitu seterusnya, sampai batas maksimal elastisitas lambung tercapai. Bahkan kalau memungkinkan, sampai kerongkongan tersumbat.

Tak seberapa lama kemudian yang tersedia di meja saji tinggal piring-piring dan mangkuk-mangkuk kosong. Sementara itu di beberapa sudut, sebagian orang yang sudah sepuh atau yang belum terlalu lapar atau yang masih keasyikan berbincang, sama sekali belum menyentuh makanan. Penyelenggara atau tuan rumah pun kelabakan, cepat-cepat menghadirkan makanan cadangan pertama. Tak lama, makanan ludes lagi. Beberapa orang masih belum kebagian. Cadangan kedua disajikan, langsung tandas. Beberapa orang belum sedikit pun menyentuh hidangan. Cadangan ketiga datang, langsung tumpas. Sampai cadangan terakhir yang berupa doa “moga-moga saja cukup” diucapkan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, beberapa orang belum juga makan.

Dengan penalaran sederhana saja, dapat dikatakan bahwa ada beberapa orang yang makan melebihi porsinya. Melampui batas yang diperkirakan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, yang saya pikir sudah memperhitungkan jumlah orang yang hadir di acara dengan makanan yang akan disajikan. Nah!

Saya tak akan berkomentar banyak tentang hal itu. Saya takut terjerumus dalam khotbah ala pildacil. Namun perkenankan saya menuliskan dua cerita. Dan saya yakin Anda nanti mampu merangkainya.

Cerita pertama saya alami di bulan puasa kemarin. Ketika itu saya bersama beberapa orang kawan, terlibat dalam sebuah kegiatan di sebuah desa yang berada di lereng gunung Telomoyo, kabupaten Semarang. Kami menginap di sana selama beberapa hari. Kebetulan, salah satu hari bertepatan dengan acara syukuran khataman Al-Qur’an untuk kanak-kanak. Acara syukuran berlangsung malam hari, selepas shalat tarawih. Sementara bocah-bocah bersukacita di masjid, kami jagongan dengan beberapa orang petani setempat di rumah salah seorang warga. Mendadak, di tengah-tengah jagongan, seorang bocah laki-laki menghambur masuk rumah sambil berteriak, “Bapaaaaak…. aku entuk endhog!” (Bapak, saya memperoleh telur!) Dan ketika sampai di depan lelaki yang tentu saja bapak si bocah, si bocah mengeluarkan sebiji telur rebus dari dalam pecinya. Sontak ruangan bergemuruh oleh tawa. Saya tersenyum, lalu melemparkan pandangan ke malam yang berkabut di luar sana.

Cerita kedua saya dengar dari mulut adik saya, entah berapa bulan yang lalu saya tak ingat betul. Dia bilang bahwa si M, seseorang yang baru saja ia kenal, doyan makan daging dan sayuran baru dua tahun belakangan ini. Sebab sebelumnya, sejak kanak-kanak, si M nyaris saban hari mengonsumsi nasi dan mie instant saja sebagai makanan utama. Dan itu bukan karena termakan iklan. Melainkan karena bapaknya hanya seorang buruh rendahan yang bekerja di sebuah pabrik tekstil, sementara ibunya terus saja sakit-sakitan, hingga keluarga mereka tak mampu membeli makanan yang bergizi. Duh…

Perbolehkan pula saya menceritakan apa-apa yang mendadak berkelebat dalam ingatan saya. Saya teringat para pengusaha kaya. Saya teringat bisnis-bisnis ala franchise. Saya teringat seruan gerakan anti pembajakan. Saya teringat hak paten. Saya teringat sekian juta hektar tanah yang dimiliki hanya oleh satu orang. Saya teringat para bankir dan rentenir. Saya teringat lembaga-lembaga yang menamakan diri koperasi tetapi memberi pinjaman dengan bunga tinggi. Saya teringat orang-orang yang dengan semangat empatlima bertindak menceleng buta. Dan, saya juga teringat kepada diri saya sendiri…

Barangkali karena yang terakhir, kulit kepala saya mendadak gatal tujuhperdelapan mampus. Seakan sebatalion kutu menjadikan belukar kepala saya sebagai markas besar. Seolah sekompi tengu sedang menduduki kulit kepala saya yang hanya seluas separuh bantal.

(Salatiga, 17 Mei 2009)

Jumat, 01 Mei 2009

Karbit


Terus terang saya bukan penonton televisi yang rajin. Bahkan sedikit menjaga jarak dengan kotak berpendar-pendar gambar ini. Tetapi belakangan, di seputar masa pemilihan anggota legislatif, saya agak memperhatikan benda yang satu ini. Hanya ingin sedikit tahu tentang proses pemilihan umum. Hanya ingin mendengar kabar tentang pemilu di penjuru tanah air. Karena betapapun, saya masih merasa menjadi warga negara republik ini.

Di sini saya tidak akan menganalisa proses pemilihan umum maupun kemungkinan-kemungkinan selepas pemilu nanti, sebagaimana yang dilakukan para pengamat politik. Karena saya bukan seseorang yang jago melakukan hal-hal semacam itu. Seperti biasa, di sini saya hanya akan ngobrol santai dengan Anda, sebagai sesama orang biasa tentu saja.

Dan acara-acara berita sehabis proses penghitungan suara kemudian mengabarkan tentang para caleg yang gagal. Bahwa tak sedikit caleg yang meminta kembali ‘bantuan’ yang ia berikan sebelum proses pencentangan (maaf, saya agak kesulitan melafalkan kata “contreng”) karena suara tak seperti yang ia harapkan. Ada yang meminta kembali seperangkat alat musik yang telah ia berikan kepada sebuah organisasi karang taruna. Ada lagi yang bertingkah seperti seorang ninja, di tengah malam menyatroni gardu ronda tempat di mana televisi yang sudah ia berikan kepada sebuah perkumpulan tukang ojek berada.

Yang cukup mencengangkan adalah beberapa di antara mereka ada yang stress berat, beberapa menjadi gila. Bahkan ada juga yang meninggal dunia. Hmm…

Dengan penalaran sederhana saja, kita dapat mengatakan, bahwa ada yang salah dengan pemilihan umum kali ini. Ada yang berjalan menjauh dari yang semestinya.

Partai-partai politik, baik yang lahir di era Orde Baru ataupun yang tumbuh setelah Reformasi ’98, dapat dikatakan bekerja dengan cara yang nyaris serupa. Sehari-harinya sepi penjaringan aspirasi. Sepi mengorganisir masyarakat. Bahkan sepi mengorganisir diri sendiri. Sepi pendidikan politik. Sepi pula kaderisasi. Hanya ramai menjelang pemilu. Dan di legislatif sana, di tingkat pusat maupun daerah, tak ada polarisasi yang jelas mana yang pro dan mana yang oposisi. Soal ideologi, barangkali jika dibandingkan dokumen masing-masing partai memang ada perbedaan, meski tak begitu tajam. Tetapi dalam tindakannya? Anda sendiri yang bisa menjawabnya.

Lalu, sering saya mendengar guyonan semacam ini. Seorang teman saya mengejek teman saya yang lain yang sedang mengeluh tentang pekerjaan dengan kalimat, “Jadi anggota legislatif aja. Enak. Banyak uang. Kerjanya cuma rapat dan tanda tangan.” Itu artinya, menurut teman saya dan bahkan menurut pandangan umum, alih-alih memperjuangkan kepentingan orang banyak, menjadi anggota legislatif adalah untuk mencari makan. Dan pemilu adalah sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang menggiurkan.

Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemilu adalah proses pengkarbitan (sebagaimana pengkarbitan pisang mentah agar cepat masak). Caleg-caleg dikarbit partai politik dan mengkarbit dirinya sendiri dengan iklan-iklan pencitraan, mitos-mitos, rumor-rumor, garis-garis keturunan, dan segala omong kosong lainnya. Dengan segala sesuatu yang sangat jauh dari dunia ide atau gagasan. Caleg-caleg karbitan kemudian berusaha mengkarbit pemilihnya, dengan bermacam-macam ‘bantuan’ (dan sudah menjadi rahasia umum di antara mereka ada yang memberi uang). Dan sebagaimana pisang karbitan, ketika gagal masak maka akan busuk. Sedangkan jika masak pun, rasanya tak semanis dengan yang matang di pohon. Dan saya yakin Anda tak mau dikarbit.

Tanya Sunyi kepada Sudut Sepi




Di atas tanah yang terlanjur bantat dan dingin, kami mempertanyakan: kenapa hidup menjadi seperti ini? Kenapa hidup serasa rentetan seri pertandingan. Kenapa kami selalu merasa di kejar-kejar sesuatu entah apa bahkan sampai ke ujung mimpi. Kenapa hidup serasa sebuah laku sepi.

Dulunya kami mengira, digelarnya jejaring listrik serta jalanan mulus menuju desa kami adalah dibukanya kesempatan untuk berbagi kebahagiaan. Memperluas kebersamaan. Manautkan simpul-simpul persaudaraan. Merayakan pertemuan-pertemuan yang saling menghormati dan menghargai, bukannya saling menghabisi dan menguasai.

Tetapi nyatanya kami diantarkan pada sebuah peradaban yang asing. Peradaban yang mendatangkan mesin-mesin rakus yang memapak hutan di punggung gunung. Mengeruk pasir dan batu penyangga aliran sungai di selatan desa kami. Peradaban yang mempersilakan pipa-pipa besi menusuk perut bumi, membawa lari air demi minum dan sawah kami.
Namun ternyata kami diperkenalkan kepada peradaban yang ganjil. Peradaban dengan percepatan yang begitu tinggi, tak memberi kesempatan kami untuk sekadar mempertanyakan. Hingga dalam sekejap kami sampai pada sebuah titik di mana kami merasa asing dengan diri kami. Hingga dalam sekelebat otak kami pejal oleh ukuran-ukuran dan laku-laku yang sesungguhnya bukan milik kami. Ukuran-ukuran yang terus bertambah sejak kami membuka mata di awal pagi.

Dan kemudian, kami mulai mengacuhkan upacara-upacara warisan moyang demi ngalap berkah dari Gusti Pangeran, juga penanda-penanda alam, sebab itu dianggap takhayul dan tak masuk di akal. Menilai sambatan dan kebersamaan sebagai sebuah guyonan, sebab yang namanya kerja adalah uang. Menepikan luku, rabuk, ani-ani dan lesung sebab dicap ketinggalan jaman. Menyingkirkan nasi jagung, pogung, suweg dan uwi, sebab katanya tak memenuhi nilai gizi. Mengganti lantai tanah dan lethong dengan semen, syukur-syukur porselen, sebab konon berpeluang menggangu kesehatan. Membelanjakan uang kami untuk membeli air dalam kemasan, roti, dan indomie sebab konon itulah makanan jaman sekarang. Menjual susu ternak-ternak kami dengan harga murah untuk kemudian membayar mahal susu-susu kaleng yang konon kata iklan mampu memperkuat tulang dan mencerdaskan otak kanak-kanak. Tambah hebat lagi jika kami membelinya di minimarket-minimarket yang kian merangsek ke pelosok-pelosok desa, yang kelak mungkin saja membangkrutkan pasar-pasar becek dan reot tapi pekat oleh transaksi jual-beli yang hangat dan bersahabat, tempat kami menjual sebagian hasil bumi.

Sementara itu anak-anak kami berubah menjadi patung yang beku dan dingin di muka televisi, dengan jemari sibuk memenceti tombol-tombol telepon genggam, seolah sedang menunggu saat di mana tubuh mereka ditumbuhi kabel. Seraya membayangkan suatu saat merekalah yang menyanyi dan beraksi di dalam televisi. Untuk kemudian sibuk mempermak tubuh mereka: membeli berkilo-kilo krim pemutih, membikin lurus rambut yang ikal, lalu bergaya di depan cermin seraya berkata, “So what gitu loh!” Dan tak hanya sekali merengek minta dibelikan motor bebek. Agar bisa membesut seperti alap-alap memburu anak ayam. Biar bisa bergaya seperti bintang iklan.
Dan mereka menjadi emoh pergi ke sawah. Lebih suka ke kota, memburu mimpi yang jamak dimiliki oleh anak-anak televisi. Membuat lengang dan sepi desa dan sawah kami. Meninggalkan kami, orang-orang tua dengan tubuh yang mulai kering dan ringkih. Lalu kepada siapa ilmu pertanian ini kami turunkan? Lantas, siapa yang akan mengolah sawah kami di masa yang akan datang?

Di atas tanah yang telah bantat dan dingin dihajar pupuk pabrikan ini, sedikit banyak kami mulai dapat merumuskan, bahwa datangnya peradaban ini adalah merapatnya maut ke permukaan kulit kami. Bahwa datangnya peradaban ini adalah kutukan bagi kehidupan kami.

Kepada sudut sepi kami hanya bisa bertanya: adakah jalan untuk kembali? Adakah saat di mana kami bertemu lagi dengan punggung gunung yang rimbun, kericik air bening yang tak henti-hentinya mengalir, tanah hitam dan mempur yang menjanjikan kehidupan, nyanyian lesung pengupas bulir-bulir padi yang bernas, tegur sapa yang akrab para tetangga, sambatan dan kerja bersama yang tak meminta, duyunan pemuda memanggul cangkul dengan mata bercahaya oleh semangat kerja? Lalu kami akan bertanya kepada mereka, “Apa kabar kalian semua?” sebelum memulai sebuah obrolan yang akrab dan hangat sebagaimana sebuah pertemuan dengan kawan lama.