Minggu, 17 Mei 2009

Bagi-bagi

Gratis. Siapa yang tak suka dengan apa-apa yang gratis. SMS gratis, tumpangan gratis, rokok gratis, dan tentu saja makanan gratis.

Sering saya (pun begitu dengan Anda, saya pikir) menghadiri sebuah acara di mana makanan tersedia gratis. Bisa pesta, syukuran, buka puasa bersama, atau sekadar makan bersama tanpa merujuk pada sebuah peringatan atau semacamnya. Dan dalam acara tersebut, makanan boleh diambil sendiri. Bukan dibagi rata, hingga tiap orang mendapat satu piring dan satu gelas misalnya.

Ya, sudah gratis, ambil sendiri pula. Masih ditambah lagi makanan yang disajikan bisa dibilang enak. Sate, sop buntut, tongseng, gecok, ayam bakar dan goreng, dendeng, dan lain sebagainya (pokoknya yang merupakan olahan dari hewan). Hmm…

Maka begitu acara makan dipersilakan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, segera saja meja saji dirubung orang. Siapa cepat dia dapat. Siapa gesit ia melejit. Makan menjadi semacam perlombaan. Piring dan sendok-garpu bertempur habis-habisan. Makanan disuapkan lalu dikunyah beberapa kali saja untuk kemudian cepat-cepat ditelan. Fungsi gigi sebagai pembantu lambung dikesampingkan. Yang penting, sesegera mungkin selesai untuk kemudian sesegera mungkin dimulai lagi. Piring pertama selesai, piring kedua dimulai. Piring kedua disudahi, piring ketiga diawali. Begitu seterusnya, sampai batas maksimal elastisitas lambung tercapai. Bahkan kalau memungkinkan, sampai kerongkongan tersumbat.

Tak seberapa lama kemudian yang tersedia di meja saji tinggal piring-piring dan mangkuk-mangkuk kosong. Sementara itu di beberapa sudut, sebagian orang yang sudah sepuh atau yang belum terlalu lapar atau yang masih keasyikan berbincang, sama sekali belum menyentuh makanan. Penyelenggara atau tuan rumah pun kelabakan, cepat-cepat menghadirkan makanan cadangan pertama. Tak lama, makanan ludes lagi. Beberapa orang masih belum kebagian. Cadangan kedua disajikan, langsung tandas. Beberapa orang belum sedikit pun menyentuh hidangan. Cadangan ketiga datang, langsung tumpas. Sampai cadangan terakhir yang berupa doa “moga-moga saja cukup” diucapkan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, beberapa orang belum juga makan.

Dengan penalaran sederhana saja, dapat dikatakan bahwa ada beberapa orang yang makan melebihi porsinya. Melampui batas yang diperkirakan oleh tuan rumah atau penyelenggara acara, yang saya pikir sudah memperhitungkan jumlah orang yang hadir di acara dengan makanan yang akan disajikan. Nah!

Saya tak akan berkomentar banyak tentang hal itu. Saya takut terjerumus dalam khotbah ala pildacil. Namun perkenankan saya menuliskan dua cerita. Dan saya yakin Anda nanti mampu merangkainya.

Cerita pertama saya alami di bulan puasa kemarin. Ketika itu saya bersama beberapa orang kawan, terlibat dalam sebuah kegiatan di sebuah desa yang berada di lereng gunung Telomoyo, kabupaten Semarang. Kami menginap di sana selama beberapa hari. Kebetulan, salah satu hari bertepatan dengan acara syukuran khataman Al-Qur’an untuk kanak-kanak. Acara syukuran berlangsung malam hari, selepas shalat tarawih. Sementara bocah-bocah bersukacita di masjid, kami jagongan dengan beberapa orang petani setempat di rumah salah seorang warga. Mendadak, di tengah-tengah jagongan, seorang bocah laki-laki menghambur masuk rumah sambil berteriak, “Bapaaaaak…. aku entuk endhog!” (Bapak, saya memperoleh telur!) Dan ketika sampai di depan lelaki yang tentu saja bapak si bocah, si bocah mengeluarkan sebiji telur rebus dari dalam pecinya. Sontak ruangan bergemuruh oleh tawa. Saya tersenyum, lalu melemparkan pandangan ke malam yang berkabut di luar sana.

Cerita kedua saya dengar dari mulut adik saya, entah berapa bulan yang lalu saya tak ingat betul. Dia bilang bahwa si M, seseorang yang baru saja ia kenal, doyan makan daging dan sayuran baru dua tahun belakangan ini. Sebab sebelumnya, sejak kanak-kanak, si M nyaris saban hari mengonsumsi nasi dan mie instant saja sebagai makanan utama. Dan itu bukan karena termakan iklan. Melainkan karena bapaknya hanya seorang buruh rendahan yang bekerja di sebuah pabrik tekstil, sementara ibunya terus saja sakit-sakitan, hingga keluarga mereka tak mampu membeli makanan yang bergizi. Duh…

Perbolehkan pula saya menceritakan apa-apa yang mendadak berkelebat dalam ingatan saya. Saya teringat para pengusaha kaya. Saya teringat bisnis-bisnis ala franchise. Saya teringat seruan gerakan anti pembajakan. Saya teringat hak paten. Saya teringat sekian juta hektar tanah yang dimiliki hanya oleh satu orang. Saya teringat para bankir dan rentenir. Saya teringat lembaga-lembaga yang menamakan diri koperasi tetapi memberi pinjaman dengan bunga tinggi. Saya teringat orang-orang yang dengan semangat empatlima bertindak menceleng buta. Dan, saya juga teringat kepada diri saya sendiri…

Barangkali karena yang terakhir, kulit kepala saya mendadak gatal tujuhperdelapan mampus. Seakan sebatalion kutu menjadikan belukar kepala saya sebagai markas besar. Seolah sekompi tengu sedang menduduki kulit kepala saya yang hanya seluas separuh bantal.

(Salatiga, 17 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar