Jumat, 01 Mei 2009

Karbit


Terus terang saya bukan penonton televisi yang rajin. Bahkan sedikit menjaga jarak dengan kotak berpendar-pendar gambar ini. Tetapi belakangan, di seputar masa pemilihan anggota legislatif, saya agak memperhatikan benda yang satu ini. Hanya ingin sedikit tahu tentang proses pemilihan umum. Hanya ingin mendengar kabar tentang pemilu di penjuru tanah air. Karena betapapun, saya masih merasa menjadi warga negara republik ini.

Di sini saya tidak akan menganalisa proses pemilihan umum maupun kemungkinan-kemungkinan selepas pemilu nanti, sebagaimana yang dilakukan para pengamat politik. Karena saya bukan seseorang yang jago melakukan hal-hal semacam itu. Seperti biasa, di sini saya hanya akan ngobrol santai dengan Anda, sebagai sesama orang biasa tentu saja.

Dan acara-acara berita sehabis proses penghitungan suara kemudian mengabarkan tentang para caleg yang gagal. Bahwa tak sedikit caleg yang meminta kembali ‘bantuan’ yang ia berikan sebelum proses pencentangan (maaf, saya agak kesulitan melafalkan kata “contreng”) karena suara tak seperti yang ia harapkan. Ada yang meminta kembali seperangkat alat musik yang telah ia berikan kepada sebuah organisasi karang taruna. Ada lagi yang bertingkah seperti seorang ninja, di tengah malam menyatroni gardu ronda tempat di mana televisi yang sudah ia berikan kepada sebuah perkumpulan tukang ojek berada.

Yang cukup mencengangkan adalah beberapa di antara mereka ada yang stress berat, beberapa menjadi gila. Bahkan ada juga yang meninggal dunia. Hmm…

Dengan penalaran sederhana saja, kita dapat mengatakan, bahwa ada yang salah dengan pemilihan umum kali ini. Ada yang berjalan menjauh dari yang semestinya.

Partai-partai politik, baik yang lahir di era Orde Baru ataupun yang tumbuh setelah Reformasi ’98, dapat dikatakan bekerja dengan cara yang nyaris serupa. Sehari-harinya sepi penjaringan aspirasi. Sepi mengorganisir masyarakat. Bahkan sepi mengorganisir diri sendiri. Sepi pendidikan politik. Sepi pula kaderisasi. Hanya ramai menjelang pemilu. Dan di legislatif sana, di tingkat pusat maupun daerah, tak ada polarisasi yang jelas mana yang pro dan mana yang oposisi. Soal ideologi, barangkali jika dibandingkan dokumen masing-masing partai memang ada perbedaan, meski tak begitu tajam. Tetapi dalam tindakannya? Anda sendiri yang bisa menjawabnya.

Lalu, sering saya mendengar guyonan semacam ini. Seorang teman saya mengejek teman saya yang lain yang sedang mengeluh tentang pekerjaan dengan kalimat, “Jadi anggota legislatif aja. Enak. Banyak uang. Kerjanya cuma rapat dan tanda tangan.” Itu artinya, menurut teman saya dan bahkan menurut pandangan umum, alih-alih memperjuangkan kepentingan orang banyak, menjadi anggota legislatif adalah untuk mencari makan. Dan pemilu adalah sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang menggiurkan.

Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemilu adalah proses pengkarbitan (sebagaimana pengkarbitan pisang mentah agar cepat masak). Caleg-caleg dikarbit partai politik dan mengkarbit dirinya sendiri dengan iklan-iklan pencitraan, mitos-mitos, rumor-rumor, garis-garis keturunan, dan segala omong kosong lainnya. Dengan segala sesuatu yang sangat jauh dari dunia ide atau gagasan. Caleg-caleg karbitan kemudian berusaha mengkarbit pemilihnya, dengan bermacam-macam ‘bantuan’ (dan sudah menjadi rahasia umum di antara mereka ada yang memberi uang). Dan sebagaimana pisang karbitan, ketika gagal masak maka akan busuk. Sedangkan jika masak pun, rasanya tak semanis dengan yang matang di pohon. Dan saya yakin Anda tak mau dikarbit.

1 komentar:

  1. hidup demonkrasi
    dari iblis oleh iblis untuk iblis!!!!!

    BalasHapus