Jumat, 01 Mei 2009

Tanya Sunyi kepada Sudut Sepi




Di atas tanah yang terlanjur bantat dan dingin, kami mempertanyakan: kenapa hidup menjadi seperti ini? Kenapa hidup serasa rentetan seri pertandingan. Kenapa kami selalu merasa di kejar-kejar sesuatu entah apa bahkan sampai ke ujung mimpi. Kenapa hidup serasa sebuah laku sepi.

Dulunya kami mengira, digelarnya jejaring listrik serta jalanan mulus menuju desa kami adalah dibukanya kesempatan untuk berbagi kebahagiaan. Memperluas kebersamaan. Manautkan simpul-simpul persaudaraan. Merayakan pertemuan-pertemuan yang saling menghormati dan menghargai, bukannya saling menghabisi dan menguasai.

Tetapi nyatanya kami diantarkan pada sebuah peradaban yang asing. Peradaban yang mendatangkan mesin-mesin rakus yang memapak hutan di punggung gunung. Mengeruk pasir dan batu penyangga aliran sungai di selatan desa kami. Peradaban yang mempersilakan pipa-pipa besi menusuk perut bumi, membawa lari air demi minum dan sawah kami.
Namun ternyata kami diperkenalkan kepada peradaban yang ganjil. Peradaban dengan percepatan yang begitu tinggi, tak memberi kesempatan kami untuk sekadar mempertanyakan. Hingga dalam sekejap kami sampai pada sebuah titik di mana kami merasa asing dengan diri kami. Hingga dalam sekelebat otak kami pejal oleh ukuran-ukuran dan laku-laku yang sesungguhnya bukan milik kami. Ukuran-ukuran yang terus bertambah sejak kami membuka mata di awal pagi.

Dan kemudian, kami mulai mengacuhkan upacara-upacara warisan moyang demi ngalap berkah dari Gusti Pangeran, juga penanda-penanda alam, sebab itu dianggap takhayul dan tak masuk di akal. Menilai sambatan dan kebersamaan sebagai sebuah guyonan, sebab yang namanya kerja adalah uang. Menepikan luku, rabuk, ani-ani dan lesung sebab dicap ketinggalan jaman. Menyingkirkan nasi jagung, pogung, suweg dan uwi, sebab katanya tak memenuhi nilai gizi. Mengganti lantai tanah dan lethong dengan semen, syukur-syukur porselen, sebab konon berpeluang menggangu kesehatan. Membelanjakan uang kami untuk membeli air dalam kemasan, roti, dan indomie sebab konon itulah makanan jaman sekarang. Menjual susu ternak-ternak kami dengan harga murah untuk kemudian membayar mahal susu-susu kaleng yang konon kata iklan mampu memperkuat tulang dan mencerdaskan otak kanak-kanak. Tambah hebat lagi jika kami membelinya di minimarket-minimarket yang kian merangsek ke pelosok-pelosok desa, yang kelak mungkin saja membangkrutkan pasar-pasar becek dan reot tapi pekat oleh transaksi jual-beli yang hangat dan bersahabat, tempat kami menjual sebagian hasil bumi.

Sementara itu anak-anak kami berubah menjadi patung yang beku dan dingin di muka televisi, dengan jemari sibuk memenceti tombol-tombol telepon genggam, seolah sedang menunggu saat di mana tubuh mereka ditumbuhi kabel. Seraya membayangkan suatu saat merekalah yang menyanyi dan beraksi di dalam televisi. Untuk kemudian sibuk mempermak tubuh mereka: membeli berkilo-kilo krim pemutih, membikin lurus rambut yang ikal, lalu bergaya di depan cermin seraya berkata, “So what gitu loh!” Dan tak hanya sekali merengek minta dibelikan motor bebek. Agar bisa membesut seperti alap-alap memburu anak ayam. Biar bisa bergaya seperti bintang iklan.
Dan mereka menjadi emoh pergi ke sawah. Lebih suka ke kota, memburu mimpi yang jamak dimiliki oleh anak-anak televisi. Membuat lengang dan sepi desa dan sawah kami. Meninggalkan kami, orang-orang tua dengan tubuh yang mulai kering dan ringkih. Lalu kepada siapa ilmu pertanian ini kami turunkan? Lantas, siapa yang akan mengolah sawah kami di masa yang akan datang?

Di atas tanah yang telah bantat dan dingin dihajar pupuk pabrikan ini, sedikit banyak kami mulai dapat merumuskan, bahwa datangnya peradaban ini adalah merapatnya maut ke permukaan kulit kami. Bahwa datangnya peradaban ini adalah kutukan bagi kehidupan kami.

Kepada sudut sepi kami hanya bisa bertanya: adakah jalan untuk kembali? Adakah saat di mana kami bertemu lagi dengan punggung gunung yang rimbun, kericik air bening yang tak henti-hentinya mengalir, tanah hitam dan mempur yang menjanjikan kehidupan, nyanyian lesung pengupas bulir-bulir padi yang bernas, tegur sapa yang akrab para tetangga, sambatan dan kerja bersama yang tak meminta, duyunan pemuda memanggul cangkul dengan mata bercahaya oleh semangat kerja? Lalu kami akan bertanya kepada mereka, “Apa kabar kalian semua?” sebelum memulai sebuah obrolan yang akrab dan hangat sebagaimana sebuah pertemuan dengan kawan lama.

1 komentar: